MANADO – Tim Pengamat Hukum dan Peradilan Pusat, menegaskan bahwa eksekusi ulang pada 25 November 2022 yang dilakukan terhadap objek yang sama merupakan tindakan cacat hukum
“Eksekusi ulang tanggal 25 November 2022 adalah eksekusi yang cacat hukum. Maka dapat disimpulkan tulisan yang tercetak di baliho adalah palsu,” tegas Tim dalam keterangan tertulis, Senin (27/10/2025).
Tim independen yang terdiri dari Ahli-ahli Advokat, mantan Kejagung, Hakim Agung ini juga menegaskan bahwa berdasarkan fakta, keluarga Makalew sudah tidak memiliki hak atas tanah tersebut karena telah dieksekusi dan dijual puluhan tahun silam.
Polemik sengketa lahan di Jalan Ringroad, Kelurahan Paniki Bawah, Manado, milik sah keluarga Dharma Gunawan yang melibatkan terdakwa Margaretha Makalew, jelas terungkap dalam persidangan.
“Kepemilikan tanah folio 239 adalah sesuai hasil eksekusi, dan setelah eksekusi tanah itu telah dijual penerima eksekusi. Maka jelas, penerima eksekusi sudah tidak memiliki warisan lagi,” jelasnya.
Tim juga menyebut baliho yang berisi klaim ahli waris Zeth Makalew atas tanah tersebut adalah keterangan palsu.
“Baliho yang menyatakan tanah milik ahli waris Zeth Makalew berdasarkan tiga putusan (19, 20, dan 1533) adalah keterangan palsu,” tegas kembali dalam keterangan tertulis.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Manado, Rabu (22/10/2025), Jaksa Penuntut Umum Lily Muaya, S.H. mempertanyakan kepada saksi ahli Hukum Perdata Dr Abdurrahman Konoras SH MH mengenai adanya dua kali eksekusi terhadap objek tanah yang sama pada tahun 1977 dan 25 November 2022 padahal perkara tersebut sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah).
“Eksekusi ini telah dilaksanakan dan dikosongkan. Jadi selesai eksekusi ini, beberapa tahun kemudian dilakukan lagi eksekusi terhadap objek tanah yang sama,” tanya jaksa kepada saksi ahli di persidangan.
Tidak hanya itu, dalam kesaksian sebelumnya, Senin (15/9/2025), Sengkey Rotinsulu sepupu terdakwa Margaretha menegaskan bahwa tanah keluarga Makalew telah dijual sejak 1977.
“Tanah itu sudah dieksekusi berdasarkan putusan pengadilan tahun 1976 dan dijual pada Januari 1977. Luasnya sekitar 23 ribu meter persegi, membentang dari arah barat ke tenggara. Itu tercatat di register desa atas nama Jhoan Supit, bukan Zeth Makalew,” tutur Sengkey.
Menurutnya, setelah penjualan itu, keluarga Makalew tidak lagi memiliki tanah di Paniki Bawah.
“Orang tua Margaretha Makalew, yakni Zeth Makalew, sudah menjual tanah ke Ir. Remy Dendeng pada tahun 1977. Saat itu, Zeth Makalew tidak punya tanah satu senti pun di Paniki Bawah,” ungkapnya.
Sengkey juga menambahkan, bahkan hingga Zeth Makalew meninggal dunia pada 2006, tidak pernah ada gugatan terhadap tanah milik Dharma Gunawan.
“Semua sudah terjual. Dalam puluhan tahun, tidak pernah ada klaim bahwa dia masih punya tanah,” terangnya.
Sengkey yang juga pernah menjabat Kepala Desa Paniki Bawah periode 1994–2004 menjelaskan, ia mengetahui asal-usul tanah berdasarkan informasi dari orang tuanya, yang merupakan hukum tua pertama Paniki Bawah.
“Informasi saya dapatkan dari papa yang menjadi hukum tua Paniki Bawah tahun 1963. Setelah itu hukum tua kedua tahun 1970–1976, dan hukum tua ketiga tahun 1978–1979. Mereka semua menjelaskan riwayat tanah di Paniki Bawah,” jelasnya.
Ia menambahkan, saat menjabat kepala desa, dirinya diingatkan agar berhati-hati dalam penerbitan surat tanah.
“Papa selalu ingatkan saya supaya hati-hati dan teliti karena Paniki Bawah akan berkembang jadi kawasan perumahan,” bebernya.
Menurut Sengkey, tanah yang kini dimiliki keluarga Gunawan dibeli dari Mardalena Makalew.
“Itu hasil penjualan dari Mardalena Makalew ke Dharma Gunawan. Saya tahu karena pada 1993, saat mau ke Jakarta, papa bilang saya bisa minta uang ke Mama Tua Mardalena karena dia baru jual tanahnya ke Gunawan,” ujarnya.
Kesaksian serupa juga datang dari Marie Wakkary, kakak ipar terdakwa Margaretha Makalew. Ia menyatakan pernah ikut mengambil uang hasil penjualan tanah kepada Dharma Gunawan.
“Saya diajak mertua ke rumah Pak Dharma Gunawan untuk mengambil uang hasil jual tanah. Saya tidak tahu jumlahnya, hanya ikut mengantar mertua,” ungkap Marie di hadapan majelis hakim.
Ia juga menuturkan bahwa pada tahun 1990-an, setiap transaksi jual beli tanah diumumkan secara terbuka di kelurahan.
“Kalau ada jual beli tanah pasti diumumkan di kelurahan. Sepengetahuan saya, tidak pernah ada keluarga Makalew yang menggugat atau keberatan atas tanah yang sudah dijual itu,” jelasnya.
Marie menegaskan, hingga orang tuanya meninggal dunia, tidak pernah ada gugatan dari pihak keluarga Makalew.
“Bahkan sampai sertifikat terbit, tidak pernah ada pihak keluarga yang menggugat,” tandasnya. (ben)



















