Pilkada Serentak November 2024 tak Mengatur Pelantikan Serentak

400
Ferry Daud Liando, Dosen Kepemiluan Fisip Unsrat Manado. (foto: dok)

MANADO – Ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota diselenggarakan serentak di seluruh daerah pada 27 November 2024.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri telah menetapkan 18 partai politik (parpol) nasional dan 6 partai politik lokal yang akan berpartisipasi pada Pemilu 2024.

Namun, UU No 10 2016 hanya mengatur soal coblos serentak di bulan November 2024 mendatang. Pilkada tidak mengatur soal pelantikan serentak.

Padahal maksud utama pilkada serentak adalah kesamaan periodisasi sejak dilantik hingga berakhirnya masa jabatan semua kepala daerah di Indonesia.

Hal itu dikatakan Dosen Kepemiluan Fisip Unsrat, Ferry Daud Liando saat memberikan materi pada kegiatan Webinar di Manado bertema ‘Mengawal Keselarasan Pilkada Serentak Dengan Manajemen Perencanaan Pembangunan Tahun 2024-2029’, Sabtu (26/8/2023).

Baginya, Ketidaksamaan periodisasi kepala daerah kerap mengacaukan rencana kerja pemerintah daerah secara vertikal. Apalagi, kerja-kerja pemerintah daerah mengacu pada dokumen RPJMD.

“Dokumen RPJMD merupakan kombinasi antara visi misi pemerintah pusat dengan visi misi kepala daerah yang terpilih. Jika RPJMD tidak disusun dalam waktu bersamaan, maka penjabaran program pemerintah pusat di daerah kerap tidak efektif,” ujar Liando saat menjadi Narasumber dalam Webinar itu.

Apalagi, kata Liando, ketika GBHN tidak berlaku lagi, sehingga banyak kebijakan-kebijakan di daerah tidak searah dan tidak terkoordinasi dengan baik.

Berpegang pada prinsip otonomi daerah, banyak kepala daerah merumuskan kebijakan yang tidak sejalan dengan visi nasional.

“Pelaksanaan pilkada setelah pilpres dimaksudkan agar kebijakan di daerah dapat searah dengan kebijakan pemerintah pusat,” terang Liando.

Jika pilkada digelar pada 24 November 2024, maka sangat rawan untuk tidak terjadi pelantikan serentak. Sehingga periodisasi nya akan bisa berbeda satu sama lain.

Sebab pasca pilkada bukan tidak mungkin ada proses pemungutan suara ulang akibat putusan MK melalui sengketa hasil.

“Pengalaman pada pilkada sebelumnya banyak porses di MK memakan waktu hampir setahun. Jika hal ini terulang maka bisa jadi akan ada pilkada digelar pada pertengahan tahun 2025,” ujarnya lagi.

Sementara kepala daerah lain sudah dilantik dan sudah menjalankan roda pemerintahan. Sehingga solusi untuk itu Perlu Perppu guna memajukan waktu pencoblosan yang menurut UU Pilkada pada November 2024.

Pertama, jika ditarik jauh sebelum November 2024 maka proses sengketa hasil akan panjang dan tidak mengganggu keserentakan pelantikan.

Kedua, perlu juga mendesak MK untuk menangani sengketa hasil dalam kategori penanganan khusus. Sebab jika MK menyesuaikan penanganan sengketa hasil mengikuti jadwal normal, maka penyelesaian sengketa hasil bisa memakan waktu lama dan berpotensi tidak akan terjadi keserentakan pelantikan.

“Jadi pada intinya diperlukan skenario bahwa bukan hanya pencoblosan dilakukan serentak dalam hari yang sama namun juga pelantikan dilakukan secara serentak secara bersamaan di hari yang sama,” pungkasnya. (don)